Riautetkini - TELUKKUANTAN - Kebijakan Pemerintah sangat menentukan kelanjutan hidup orang banyak dalam melakukan penertiban kawasan hutan yang dikelola masyarakat sejak puluhan tahun.
Menyikapi kondisi ini, pemerintah mesti hadir untuk memberi pengampunan demi keberlanjutan hidup hajat orang banyak, supaya masyarakat tidak terdampak atas kebijakan penertiban tersebut.
Sebab, keberlangsungan hidup orang banyak, merupakan tanggungjawab negara, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3 yang menyatakan, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan sepenuhnya untuk kemakmuran rakyat.
Atas dasar UUD 1945 pasal 33 ayat 3 pemerintahan mesti memberi ruang dan mempertimbangkan kedudukan masyarakat yang menjalankan usaha di kawasan hutan.
Polemik ini, banyak menjadi persoalan dalam konteks konflik agraria dan legalitas pemanfaatan kawasan hutan atau lahan negara di Indonesia.
Berdasarkan data yang riauterkini.com rangkum, polemik ini juga terjadi di Riau secara umum, khususnya di Kuantan Singingi, seperti di Sawah Godang (besar), Simpang Kampar, dan lahan di wilayah lainnya yang dikelola masyarakat. Namun demikian, sebagiannya telah berada dalam kawasan putih.
Hal ini disebabkan tidak sinkronnya pemetaan RTRW, sehingga sebagian lahan perkebunan yang dikelola masyarakat, masuk dalam kawasan, tanpa kejelasan. Padahal sebelumnya merupakan lahan garapan.
Maka Pemkab Kuansing mengajukan revisi RTRW Kuantan Singingi, 2024-2044 ke pemerintah pusat melalui Kementerian ATR, dengan harapan kawasan tersebut bisa dikeluarkan dari zona merah. Terutama untuk masyarakat yang terikat dengan koperasi.
Kabupaten Kuantan Singingi, sendiri mengusulkan pelepasan status sejumlah kawasan hutan seluas 86.482,55 hektar.
Keterikatan masyarakat dengan koperasi melalui pola bapak angkat, banyak dijalani masyarakat dimana tempat di Indonesia, begitupun di Kuansing. Langkah ini dilakukan karena terbatasnya anggaran untuk pembukaan lahan baru karena nilainya relatif tinggi.
Sehingga kondisi ini membuat masyarakat banyak bergantung kepada koperasi dalam pengelolaan lahan, namun, belakangan, nasib koperasi menjadi sasaran untuk dilakukan penertiban, sementara di dalamnya adalah masyarakat, merupakan bagian dari rakyat.
Karena koperasi pada umumnya melibatkan masyarakat lokal atau adat yang selama ini hidup dari lahan tersebut, maka pendekatan represif (penegakan hukum ketat) bisa berdampak sosial-ekonomi buruk, jika dilakukan penertiban.
Pengampunan (amnesti administratif atau legalisasi) bisa menjadi jalan tengah untuk melindungi hak-hak hidup demi memenuhi kesejahteraan masyarakat.
Kondisi ini, mesti menjadi perhatian serius pemerintah untuk melakukan kajian ulang untuk tujuan kemakmuran rakyat terutama mereka yang bernaung di bawah bendera koperasi.
Sebab, koperasi berperan penting dalam membantu pemerintah untuk mencapai kesejateraan rakyat, serta mempunyai sumbangsi besar dalam menekan angka kemiskinan setiap wilayah di seluruh Indonesia.
Langkah ini, sejalan dengan Reforma Agraria Pemerintah RI melalui program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial telah membuka ruang bagi legalisasi pengelolaan kawasan hutan oleh masyarakat, termasuk dalam bentuk koperasi. Ini mendukung redistribusi lahan secara adil.
Terpenting sekali, pemerintah mesti memberi kepastian hukum, karena banyak koperasi terbentuk atas inisiatif masyarakat, akibat ketidakjelasan status lahan atau ketidakadilan dalam akses tanah.
Pemberian pengampunan akan menciptakan kepastian hukum dan mendorong pengelolaan berkelanjutan, sehingga hak masyarakat tidak terabaikan sesuai sila ke lima dengan memberikan rasa keadilan.
Maka pentingnya, dilakukan pendekatan Restoratif, ketimbang pendekatan represif, pengampunan disertai pembinaan dan legalisasi dapat mendorong tata kelola lahan yang produktif dan lestari, serta membuka peluang untuk sinergi antara negara dan rakyat.
Solusi tengah yang memungkinkan dilakukan legal Review dan Verifikasi Partisipatif, Pemerintah tentu bisa membuka jalur evaluasi dan legalisasi terbatas terhadap koperasi yang terbukti benar-benar berbasis masyarakat dan menjalankan prinsip keberlanjutan.
Pemberian izin pemanfaatan terbatas, jika tidak memungkinkan diberikan pengampunan penuh, akan tetapi bisa diberikan izin kelola terbatas seperti izin perhutanan sosial dengan evaluasi berkala.
Serta memberikan penguatan kapasitas Koperasi, perlu dibina agar betul-betul menjadi instrumen pemberdayaan masyarakat, tanpa buru-buru melakukan penertiban, sehingga tidak bertentangan dengan UUD 1945 pasal 33 ayat 3.
Disisi lain, pemerintah juga ada benarnya menegakkan UU dalam melakukan penertiban, seperti di TNTN yang telah menjadi isu Nasional, sebab lahan ini sedari awal sudah dicanangkan agar tidak digarap menjadi lahan perkebunan, namun, himbauan ini tak diindahkan, sehingga pemerintah mengambil sikap.
Harapan ini, disampaikan salah seorang petani, Najuzi Arwan (53), ia berharap pemerintah benar-benar melakukan kajian ulang dalam melakukan penertiban, sebab kehidupannya bersumber dari lahan kawasan, untuk melanjutkan masa depan anak-anaknya yang membutuhkan biaya.
"Permintaan kita tak banyak, tapi beri solusi yang jelas terkait kondisi kami, yang bergantung pada Koperasi," harapnya.
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Hukum Tata Negara UI, Jimly, terkait Pasal 33 ayat (3) berpendapat dasar konstitusional penguasaan negara atas sumber daya alam, yang memiliki implikasi terhadap pembuatan undang-undang di bidang sumber daya alam, energi, dan lingkungan hidup.
Ia juga mengingatkan pentingnya perlindungan lingkungan sebagai bagian dari kemakmuran rakyat jangka panjang.
Pendapat para ahli dan lembaga hukum seperti MK menunjukkan bahwa Pasal 33 ayat (3) menuntut negara aktif mengelola kekayaan alam. Bertujuan untuk kemakmuran rakyat, bukan keuntungan segelintir pihak.
Tidak menutup peran swasta, asal negara tetap mengendalikan dan mengatur. Harus selaras dengan prinsip keadilan sosial dan perlindungan lingkungan.*** (Jok)