Riauterkini - TELUKKUANTAN - Pengadilan Negeri (PN) Teluk Kuantan, Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, selama bulan September 2025 berhasil mendamaikan korban dan Pelaku delapan perkara pidana yang berbeda atau melalui Restorative Justice.
"Kasus-kasus itu terdiri dari 7 perkara pencurian dan 1 perkara pembakaran rumah. Modus operandi dari perkara pencurian tersebut hampir seragam, yaitu pencurian buah kelapa sawit, berupa berondolan buah maupun tandan sawit secara utuh," ujar Jubir PN Telukkuantan, ujar Aulia Rifki Hidayat, Jumat melalui keterangan tertulisnya.
Aulia Rifki Hidayat, memaparkan untuk perkara pembakaran rumah, cerita dibaliknya cukup menyayat hati pelaku merupakan anak kandung yang tengah berseteru dengan keluarganya, lalu secara gelap mata mencoba membakar rumah ibu kandungnya.
Terhadap 7 perkara pencurian tersebut, sebanyak 6 perkara diselesaikan dengan hukum acara pemeriksaan cepat, karena termasuk tindak pidana ringan dengan nilai kerugian dibawah Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
"Perkara ini dipimpin oleh Hakim Tunggal, Riri Lastiar Situmorang dan Aulia Rifqi Hidayat masing-masing berhasil mendamaikan 2 perkara, serta M. Adli Hakim H dan Diana Widyawati, masing-masing berhasil mendamaikan 1 perkara," jelasnya.
Sedangkan untuk 1 perkara pencurian lainnya, kata Aulia Rifki Hidayat, diselesaikan dengan hukum acara pemeriksaan biasa, dipimpin oleh Widya Helniha sebagai Ketua Majelis, dengan anggota Riri Lastiar Situmorang dan Aulia Rifqi Hidayat.
Sementara terhadap 1 perkara pembakaran rumah, dipimpin oleh Subiar Teguh Wijaya sebagai Ketua Majelis yang juga merupakan Ketua PN Telukkuantan, dengan anggota Riri Lastiar Situmorang dan Firman Novianto.
"Semua proses perdamaian tersebut terjadi dalam persidangan. Pada awalnya Hakim mempersilahkan Penuntut Umum (PU) untuk membacakan dakwaan, kemudian menanyakan kepada Terdakwa apakah mengajukan keberatan atas dakwaan tersebut atau mengakui perbuatannya," katanya.
Dalam aturannya, sebut Aulia RH, RJ hanya bisa diterapkan apabila Terdakwa mengakui perbuatannya. Kemudian Hakim akan menawarkan dan menjelaskan kepada Terdakwa, apakah bersedia untuk meminta maaf kepada Korban.
Kemudian, apabila bersedia, berikutnya Hakim akan menanyakan kesediaan Korban untuk memaafkan Pelaku, baik dengan syarat ataupun tanpa syarat. Jika kedua belah pihak telah bersepakat untuk berdamai, maka perdamaian akan dituangkan dalam perjanjian tertulis dan akan dipertimbangkan Hakim dalam memutus perkara pidana tersebut.
Selanjutnya, dalam memandu persidangan, untuk dapat mengarahkan para pihak menuju perdamaian, Hakim dituntut memiliki skill komunikasi dan ajakan persuasif yang baik. Ajakan perdamaian tidak bisa dilakukan dengan tekanan, tetapi harus dimulai dengan pembicaraan yang menyentuh hati.
Karena katanya, jika kebahagiaan tertinggi bagi petani adalah saat buahnya panen, maka kebahagiaan tertinggi bagi seorang Hakim adalah jika para pihak yang bersengketa bersedia untuk berdamai. Namun perlu diingat, perdamaian dalam perkara pidana tidak menghentikan proses penegakan hukum.
Apabila seluruh unsur pasal yang didakwakan telah terbukti, maka Terdakwa akan tetap dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman. Pada akhirnya, perdamaian tersebut akan dipertimbangkan sebagai faktor yang meringankan, untuk dapat menjatuhkan pidana yang minimal atau pidana bersyarat berupa percobaan.
Sebab kata Aulia Rifki Hidayat, tidak semua kejahatan, murni bermula dari niat jahat sang Pelaku. Ada cerita yang sering tak terdengar tentang himpitan ekonomi, keterbatasan pilihan, atau sekedar mengikuti kehendak intrusif karena melihat adanya kesempatan.
Begitu kejahatan terjadi, maka akan muncul Korban sebagai pihak yang terluka. Ada yang terancam keselamatannya, kehilangan harta benda, atau tercoreng nama baik yang telah dijaga.
"Keadilan Restoratif (Restorative Justice / RJ) hadir untuk menjawab itu semua. Bagaimana melihat peristiwa pidana bukan semata rangkaian tindakan dari Pelaku, tetapi juga mempertimbangkan konteks dan latar belakang yang mewujudkan perbuatan itu terjadi," kata Aulia Rifki Hidayat.
Hingga mengusahakan pemulihan hubungan antara Pelaku dengan Korban. Karena tidak semua kesalahan, harus berakhir dengan hukuman. Ada keadaan yang lebih melegakan jika setiap yang bertikai, masih bersedia untuk berdamai.*** (rls)