Riauterkini-INDRAGIRI HILIR– Konflik agraria di Kabupaten Indragiri Hilir kembali mengemuka setelah puluhan warga Desa Mekar Sari, Kecamatan Keritang, bersama Gerakan Mahasiswa Peduli Masyarakat (GEMPAR), mendatangi Gedung DPRD Inhil untuk menolak pengambilalihan ratusan hektare lahan masyarakat yang diklaim masuk dalam kawasan hutan dan akan dikelola oleh PT Agrinas, perusahaan negara yang ditunjuk mengelola lahan sitaan pemerintah. Pada Selasa (18/11/2025) siang.
Masyarakat menilai tindakan pemancangan lahan oleh Tim Penertiban Kawasan Hutan (PKH) dilakukan tanpa mempertimbangkan hak kepemilikan warga yang telah mengelola lahan tersebut turun-temurun.
Kepala Desa Kembang Mekar Sari, M. Darwis, menyebut kedatangan warga ke DPRD adalah bentuk jeritan masyarakat yang kehilangan sumber kehidupan.
Sejak tahun 2007, warga menyerahkan lahan mereka kepada Koperasi Cita Harapan untuk dikelola sebagai kebun plasma di bawah PT Agro Sarimas Indonesia. Lahan seluas sekitar 350 hingga 390 hektare itu diketahui memiliki alas hak yang sah, dan selama bertahun-tahun masyarakat menerima pembagian hasil panen. Namun kondisi berubah drastis setelah terbitnya Perpres Nomor 5 Tahun 2025 yang memasukkan area tersebut ke dalam kawasan hutan, membuat hasil kebun terhenti dan masyarakat kehilangan penghasilan utama.
“Ini bukan hanya soal kebun, ini soal hidup. Ada warga yang hanya punya setengah hektare, ada yang hanya satu hektare, dan kebun itu satu-satunya sumber untuk menyekolahkan anak mereka. Tiba-tiba PKH datang dan memancang lahan, seakan-akan itu bukan milik warga,” ujarnya.
Pihaknya meminta pemerintah pusat, khususnya kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto, menghentikan praktik sewenang-wenang di lapangan dan memastikan negara tidak berpihak kepada korporasi dalam persoalan lahan rakyat.
Dalam rapat gabungan bersama masyarakat, GEMPAR, dan perangkat desa, dan Dinas Terkait, Wakil Ketua I DPRD Inhil, Ir. H. AMD. Junaidi AN., M.Si., menegaskan bahwa persoalan ini harus ditelusuri secara mendalam karena menyangkut nasib ratusan keluarga. DPRD menemukan bahwa lahan yang kini diklaim PKH berada dalam kawasan plasma perusahaan, sementara perusahaan tersebut diduga tidak memiliki HGU yang jelas. Kondisi ini tentu membuat kedudukan hukum lahan tersebut harus ditinjau ulang secara menyeluruh sebelum dilakukan tindakan apa pun di lapangan.
“Kita tidak bisa membiarkan masyarakat terpuruk. Negara pun tidak akan tinggal diam. Lahan ini adalah sumber hidup masyarakat Mekar Sari. Karena itu, kami akan bersurat ke DPR RI, meminta agar perjuangan mereka dibawa ke tingkat pusat, dan DPRD akan melakukan pendataan detail melalui Operlai, Gis, dan Pemetaan Tematik untuk memastikan batas dan status kepemilikan lahan, sebelum kemudian meminta Bupati Inhil merekomendasi menyurati resmi kepada pemerintah pusat dan Tim PKH," jelasnya
GEMPAR dalam pernyataannya menegaskan bahwa aksi mereka bukan bentuk penolakan terhadap negara, melainkan upaya menjaga agar negara tidak menjadi alat korporasi untuk memperluas kuasa atas tanah rakyat. Mereka menuntut agar pemerintah pusat dan daerah melakukan audit sosial serta pemetaan partisipatif untuk memastikan lahan rakyat tidak dirampas atas nama kawasan hutan.
“Ini seruan moral, agar negara hadir secara adil. Keadilan agraria adalah fondasi kesejahteraan rakyat, dan kami tidak akan berhenti memperjuangkan itu,” ujar perwakilan GEMPAR dalam orasi.
Konflik lahan sawit Mekar Sari kini menjadi sorotan karena menyeret persoalan kawasan hutan, plasma perusahaan tanpa HGU jelas, terhentinya pendapatan ratusan warga, hingga dugaan tindakan melampaui kewenangan oleh Tim PKH.
DPRD Inhil memastikan akan mengawal kasus ini hingga ke tingkat nasional, sembari menegaskan bahwa masyarakat Mekar Sari harus tetap mendapat ruang untuk mengelola kembali tanah yang telah mereka garap puluhan tahun. Konflik ini diperhitungkan berpotensi menjadi isu agraria besar jika pemerintah pusat tidak segera mengambil langkah penyelesaian yang adil dan terukur.***(pto)