Riauterkini - RIAU - Riak itu sempat mengguncang. Tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau dilanda gelombang kisruh, tarik menarik kepentingan, hingga hampir terpecah.
Banyak yang khawatir, rumah besar wartawan di Bumi Lancang Kuning akan retak, kehilangan wibawanya. Namun di tengah pusaran badai, dua sosok berdiri tegak. Mereka adalah Raja Isyam Azwar dan N. Doni Dwi Putra.
Raja Isyam, sang ketua, hadir bak karang yang menahan ombak. Ia tidak berteriak, tidak pula terbawa emosi.
Dengan wajah teduh dan suara penuh wibawa, ia menjaga agar bahtera organisasi tidak patah haluan.
Di setiap pertemuan yang penuh perbedaan, ia selalu memilih menjadi penenang, bukan pemantik.
Berbeda dengan dirinya, di sisi lain ada N. Doni Dwi Putra, sang sekretaris. Doni adalah energi muda, berdenyut cepat, tegas, dan lugas.
Dialah motor penggerak yang memastikan roda organisasi tidak macet. Jika Isyam adalah jangkar yang menahan kapal tetap kokoh, Doni adalah layar yang menangkap angin agar bahtera tetap melaju.
Perpaduan itu tidak muncul begitu saja. Mereka tumbuh dalam dinamika berbeda, membawa karakter yang kontras.
Namun justru perbedaan itulah yang membuat keduanya saling melengkapi. Satu menenangkan, satu menggerakkan. Satu mengayomi, satu mengatur detail.
Ketika kisruh di tubuh PWI Riau mencapai titik memanas, banyak yang menduga organisasi ini akan terbelah.
Tapi Isyam dan Doni memilih jalan berbeda, tidak membiarkan api membakar, melainkan mengubah bara itu menjadi cahaya.
Di ruang-ruang rapat yang sering berlangsung panas, Isyam tampil bak air yang menyejukkan. Ia jarang mengangkat suara, namun setiap kalimatnya menjadi penutup perdebatan.
"PWI ini rumah kita, jangan sampai terbakar oleh kita sendiri," begitu kira-kira kalimatnya yang kerap mengunci suasana.
Doni, di sisi lain, selalu menjadi tangan yang bekerja cepat. Ketika konflik membuat banyak orang ragu melangkah, Doni memastikan organisasi tetap bergerak, tidak berhenti hanya karena riak.
Keduanya tidak hanya bekerja untuk mempertahankan jabatan. Mereka bekerja untuk menjaga marwah.
Mereka sadar, ketika PWI runtuh, bukan hanya nama organisasi yang hancur, tapi juga harga diri wartawan yang ada di dalamnya.
Perjalanan keduanya tentu tidak tanpa cobaan. Ada tekanan dari luar, ada gesekan dari dalam.
Ada tudingan, ada cibiran. Namun dengan komunikasi yang solid, keduanya selalu menemukan jalan tengah.
Isyam menjadi tameng, Doni menjadi tombak.
Ketika Kongres Persatuan akhirnya digelar dan PWI kembali bersatu, publik baru menyadari betapa besar peran dua tandem ini.
Mereka adalah garda terdepan yang menjaga agar rumah PWI Riau tidak benar-benar runtuh.
Kini, keduanya menjadi simbol keteguhan. Isyam dikenal sebagai bapak yang menenangkan, Doni dikenal sebagai organisator yang tangguh.
Bagi anggota muda, keduanya adalah teladan, bahwa kepemimpinan sejati lahir dari keberanian merangkul, bukan memecah.
Sejarah mencatat, badai yang melanda PWI Riau bisa saja meruntuhkan banyak hal. Tapi berkat dua sosok ini, organisasi tetap kokoh berdiri.
Apa yang mereka lakukan bukan sekadar menjaga kursi, melainkan menjaga nyawa dari sebuah rumah besar.
Bagi wartawan Riau, tandem ini menjadi bukti nyata bahwa kebersamaan adalah kekuatan terbesar.
Bahwa meski berbeda gaya, berbeda karakter, keduanya bisa berpadu menjadi benteng yang sulit ditembus.
Dan pada akhirnya, nama Raja Isyam Azwar dan N. Doni Dwi Putra akan dikenang dalam sejarah PWI Riau, bukan sekadar sebagai ketua dan sekretaris, tetapi sebagai dua sahabat seperjuangan yang berhasil menuntun organisasi melewati badai.
Mereka membuktikan, badai boleh menguji, tapi persatuan selalu punya cara untuk menang. *** Dani Ardiansyah (Wartawan Muda PWI Riau)