Riauterkini-PEKANBARU-Pemasangan pagar laut dan penggunaan alat tangkap bubu tarik secara masif di perairan Kabupaten Rokan Hilir kian menjadi sorotan. Praktik ini tidak hanya mencederai asas keberlanjutan ekosistem pesisir, tetapi juga secara nyata mengakibatkan kerugian ekonomi bagi nelayan tradisional. Wilayah pesisir Rohil yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara dan negara tetangga Malaysia menjadi medan konflik yang kompleks akibat tumpang tindih kepentingan dan lemahnya pengawasan terhadap aktivitas penangkapan ikan ilegal.
Kondisi tersebut mengemuka dalam kegiatan resmi Musda dan Pelantikan DPD Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Provinsi Riau tahun 2025 yang menjadi perhatian utama pengurus DPC HNSI Kabupaten Rokan Hilir. Sekretaris DPC HNSI Rohil, Amrial, SE, dalam pertemuan yang dihadiri oleh Ketua Umum DPP HNSI Laksamana TNI (Purn) Soemarjono, Kepala Dinas Perikanan Provinsi Riau, serta jajaran pengurus HNSI dari Sumatera Utara, menyampaikan keresahan mendalam para nelayan lokal yang harus bersaing tidak hanya dengan dinamika laut, namun juga tekanan dari aktivitas nelayan luar daerah yang diduga menggunakan alat tangkap tidak ramah lingkungan.
“Nelayan kita sering dihadapkan dengan nelayan dari Sumatera Utara maupun Malaysia. Penggunaan alat tangkap seperti bubu tarik yang merusak dasar laut dan pagar laut yang memagari habitat spat kerang secara ilegal membuat nelayan kami tidak akan tinggal diam. Ini menyangkut kelangsungan hidup masyarakat pesisir,” tegas Amrial usai Musda HNSI baru baru ini.
Amrial juga menyoroti bahwa pemasangan pagar laut di wilayah perairan Sinaboi telah mengganggu siklus pertumbuhan spat kerang darah yang menjadi komoditas perikanan penting bagi masyarakat lokal. Ia mendesak instansi terkait untuk segera menurunkan tim verifikasi dan menertibkan pagar-pagar laut ilegal yang telah menyabotase ekosistem dan merugikan nelayan kecil.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Dinas Perikanan Provinsi Riau Yurnalis, S.Sos, M.Si mengimbau agar pengurus HNSI dari dua provinsi bertetangga, yakni Riau dan Sumatera Utara, segera menginisiasi pertemuan formal guna mencari solusi komprehensif terhadap potensi konflik horizontal antar nelayan yang sewaktu-waktu dapat memanas di lapangan.
“Kebetulan hadir pengurus DPD HNSI Sumatera Utara, mari kita saling bersinergi dalam menjaga kedaulatan sumber daya perikanan dan ketertiban laut. Persoalan ini tidak bisa diselesaikan secara parsial,” ujarnya.
Senada dengan itu, ketua DPP HNSI Pusat, Laksamana TNI (Purn) Soemarjono menekankan pentingnya kolaborasi antara nelayan dan pemerintah daerah dalam memberantas praktik penangkapan ikan ilegal. Ia juga mengingatkan bahwa setiap indikasi pelanggaran seperti penggunaan alat tangkap merusak harus segera dilaporkan agar dapat ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku.
Sekretaris Jenderal DPP HNSI Pusat, Dr. Ir. Anton Leonard, SP.MM turut memberikan pandangan strategis dengan mendorong adanya forum dialog lintas provinsi yang fokus pada penyelarasan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan dan inklusif.
“DPD HNSI Provinsi Riau dan Sumatera Utara perlu duduk bersama, membuat kesepahaman bersama, dan menyatukan langkah agar praktik-praktik eksploitatif di perairan Nusantara dapat diminimalisir,” tuturnya.(Rls/bud)