Riauterkini - PEKANBARU - Pertamina Hulu Rokan (PHR) mangkir saat diundang rapat bersama Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertran) Provinsi Riau, pada akhir pekan lalu.
Rapat itu merupakan pertemuan lanjutan bersama Federasi Pertambangan Energi (FPE) Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) terkait nasib para buruh kontrak diperusahaan tersebut. Disebutka bahwa kondisi kesejahteraan pekeja migas yang bekerja di wilayah operasional Blok Migas Rokan yang dikelola PHR kesejahteraannya semakin menurun.
Pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh jajaran pengurus FPE-KSBSI Pekanbaru dan Siak, serta perwakilan dari 4 perusahaan sub kontraktor (vendor/alih daya) yang merupakan mitra kerja PHR. Keempat perusahaan yakni PT Nusa Bhakti Wiratama, PT Konsorsium Nawakara Perkasa Nusantara, PT Rezeki Surya Intimakmur dan PT Gobel Dharma Sarana Karya.
Keempat perusahaan tersebut sebelumnya telah diadukan oleh FPE-KSBSI ke Disnaker Riau atas dugaan pelanggaran hak normatif pekerja. Rapat dipimpin langsung oleh Kepala Bidang Hubungan Industrial dan Persyaratan Kerja Disnaker Riau, Muhammad Yunus.
"Ketidakhadiran manajemen PT PHR menunjukkan kesan tidak adanya itikad baik dari perusahaan cucu usaha PT Pertamina dalam menyelesaikan persoalan buruh yang mendasar di lingkungan Blok Rokan. Padahal, sudah nyata-nyata PHR diundang dalam pertemuan tersebut," kata Ketua DPC FPE-KSBSI Kabupaten Siak, Swandi Hutasoit SH kepada media ini, Selasa (6/8/24).
Swandi mengeritik keras sikap manajemen PHR yang tidak menghormati undangan Disnaker Riau. Ia menyebut, ketidakhadiran manajemen PHR ini bukan cuma kali pertama terjadi. Dalam pertemuan yang digelar bulan lalu di Disnaker Riau, PT PHR juga mangkir dengan hanya memberikan surat ke Disnaker Riau.
"Ironinya, dalam surat penjelasannya PHR menyebut kalau tanggung jawab soal pemenuhan hak buruh berada di bawah vendor/ perusahaan alih daya mitra kerja mereka. Alasan ini yang tak masuk akal, menunjukkan PHR mau lepas tangan dan buang badan atas masalah yang dialami oleh buruh kontrak migas di Blok Rokan," kata Swandi.
Sebelumnya, pada Senin (29/7/2024) lalu, Disnaker Riau telah menggelar rapat yang menghadirkan perwakilan manajemen PT PHR dan FPE-KSBSI. Karena tidak ada kata sepakat, hingga akhirnya Disnaker Riau melakukan rapat lanjutan yang dilakukan Jumat (2/8/2024) lalu.
Dalam pertemuan tersebut, FPE Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) menilai buruknya kesejahteraan pekerja migas di Blok Rokan sejak dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Serikat buruh migas ini merasakan kemerosotan yang nyata terhadap kemaslahatan pekerja, terutama dialami langsung oleh buruk kontrak yang dipekerjakan oleh vendor (perusahaan alih daya) yang menjadi mitra kerja PHR.
Ketua DPC FPE-KSBSI Kota Pekanbaru, Santoso mengungkap sejumlah dugaan terjadinya praktik buruk yang dialami buruh kontrak migas di Blok Rokan harus segera diselesaikan oleh PT PHR sebagai penanggungjawab (pemberi kerja).
Adapun persoalan yang dialami pekerja yakni terjadinya pembebanan biaya tindak lanjut pemeriksaan kesehatan (MCU) dan treadmill kepada pekerja, bukan ditanggung oleh perusahaan. Biaya yang harus ditanggung buruh untuk MCU itu angkanya di atas Rp 1 juta lebih. Padahal, kenaikan gaji buruh tiap tahunnya tak cukup untuk membiayai MCU dan treadmill.
"Ini tak manusiawi dan tidak adil," tegas Santoso.
Temuan lain yang diungkap adalah tidak dibayarnya uang kehadiran oleh perusahaan alih daya. Selain itu, sejumlah perusahaan alih daya (vendor PHR) juga tidak membayar uang cuti kepada pekerjanya.
Menurutnya, beban hidup yang dialami buruh kontrak migas di Blok Rokan sangat tinggi. Apalagi, mereka hanya menerima gaji sesuai besaran Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK), sejak upah minimum sektoral migas dihapuskan. Dalam kondisi itu, sejumlah buruh kontrak migas terpaksa harus nyambi pekerjaan sampingan lain, yang menimbulkan dampak terhadap kesehatan dan daya tahan tubuh mereka.
"Padahal, industri migas katanya merupakan industri strategis vital yang menyumbangkan pendapatan besar untuk negara. Tetapi kehidupan buruh migas jauh dari kata sejahtera alias terpuruk," kata Santoso. ***(mok)